“Sheevaaa…sinii lihaaattt! Ada anak kepiting lucu bangeet..” Nimo
memanggil Sheva dengan sangat antusias. Nimo terlihat begitu senang,
kakinya melompat-lompat kecil di atas pasir pantai dengan gemas. Gaya
bicaranya sangat kekanak-kanakan, volume suaranya juga meninggi.
Sheva tersenyum kecil menanggapi Nimo. Nimo yang selalu Sheva kenal. Sebenarnya ia sangat ingin meladeni seluruh celotehan dan tingkah laku Nimo yang super ceria itu. Namun tubuh Sheva sudah lumayan merasa letih dan ingin meluruskan kakinya dulu sejenak.
“I-iya Nimo. Nanti aku lihat.. tapi aku mau selonjoran dulu yah sebentar.. oke?”
Nimo sepertinya tidak terlalu mengindahkan permintaan Sheva. Langsung ia menghampirinya yang sedang duduk di atas pasir pantai dengan ekspresi merajuk. Gaya berjalannya sungguh seperti anak kecil yang menghampiri ibunya untuk memaksanya masuk ke dalam toko mainan.
“Oke Nimo… oke… iya ini aku lihat anak kepitingnya deh” Sheva mengalah, ia bangkit sebelum Nimo menarik tangannya.
Nimo segera berlari lagi sambil menunjuk-nunjuk anak kepiting itu. Sheva segera menghampirinya dan menjadi penasaran seperti apa anak kepiting yang sangat menarik perhatian Nimo itu. Ternyata benar, anak kepiting itu memiliki bentuk yang cantik. Tempurungnya berwana hijau tua dengan bintik-bintik berwana merah terang.
Sungguh indah, jarang Sheva lihat yang wujudnya seperti itu. Nimo kemudian tertawa renyah, merasa bahagia dan puas telah menunjukkan hewan cantik ini kepada Sheva. Pikir Sheva, Nimo memang memiliki paras yang menawan. Rambut keritingnya yang tertiup angin pantai, suara tawanya yang renyah dan lesung pipi dalamnya itu selalu dapat memesonanya seperti terakhir kali Sheva melihatnya. Sheva tersipu dan merasakan hembusan desiran hangat di dalam hatinya.
Tidak terasa ssudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu berdua di pantai. Membuat istana pasir, bermain ombak, hingga berbicara dan tertawa melantur hampir sudah mereka lakukan semuanya. Sheva tidak menduga bahwa hari ini akan berwujud seindah ini. Dia juga sangat bahagia karena Nimo tidak berubah sedikitpun. Tetap periang, sedikit kekanakan, msudah tertawa, sensitif dan selalu memiliki kreatifitas yang tidak terbatas dalam menggambarkan imajinasinya menjadi wujud yang konkrit.
Sebenarnya Sheva juga merasa iri terhadap semangat Nimo. Semangat yang selalu terpancar dari sorot matanya ternyata tidak menurun sama sekali. Sheva heran, seakan-akan Nimo tidak pernah merasa sedih ataupun digerogoti oleh kepahitan dalam hidupnya.
Hanya dengan melihat tatapan Nimo, Sheva seakan-akan mendapat kembali semangatnya. Sorot mata yang periang namun lembut, membuat Sheva merasakan seperti kembali ke rumahnya. Selama ini Nimo hadir bagaikan cermin terhadap diri Sheva. Terlalu banyak persamaan yang ada pada diri mereka.
Mereka saling memantulkan semangat dan kesedihan satu sama lain. Tanpa banyak kata-kata yang terucap, Nimo dan Sheva selalu bisa merasakan gejolak perasaan satu sama lain. Segala hal yang baik dan buruk terasa begitu relatif bagi mereka berdua.
Hari ini mereka merasa seperti terlahir kembali. Seperti anak kecil, mereka menciptakan kebahagiaan murni yang tiada batas. Kebahagiaan yang membuat hati Sheva terasa begitu penuh dan serasa ingin meledak.
Tanpa terasa, langit ssudah mulai meredup. Matahari rupanya sudah tidak terlalu bersemangat untuk memancarkan cahayanya, namun hari juga belum kunjung gelap. Suara beberapa ekor burung camar juga masih terdengar dari kejauhan. Pikir Sheva, mereka masih memiliki waktu beberapa saat lagi.
Saat ini Sheva sangat berharap agar Tuhan memberikan durasi tambahan supaya Ia tidak segera menenggelamkan matahari di hari ini.
“Nimo, kita pindah duduk di situ aja yuk. Kayaknya mataharinya bisa kelihatan lebih jelas” ajak Sheva dengan spontan.
“Boleh, boleh.. yuk kita pindah” Mereka langsung berjalan menuju batu besar yang ditunjukkan Sheva tersebut. Nimo memang figur yang easy-going, dia tidak pernah mempersulit segala hal. Di atas batu itu, mereka berdua duduk bersebelahan.
Sesungguhnya Sheva merasa berat untuk kembali ke realita hidupnya. Ia tahu waktunya tidak akan lama lagi. Namun di satu sisi, hidupnya saat ini adalah kehidupan impian yang selalu ia dambakan sejak dulu dan tak mungkin Sheva tinggalkan. Pandangannya lalu menuju ke bawah, melihat gelombang-gelombang air laut yang menghantam batu besar di bawah tempat mereka duduk.
“Semua orang punya proses pendewasaannya, Sheva. Mungkin hari ini bukan esensi sebenarnya dari kehidupan kita. Tapi… yah, anggap aja ini kayak mimpi indah. Terasa indah untuk sesaat, tapi habis itu kita bangun dan melanjutkan hidup lagi.” Nimo tersenyum lebar.
Sheva terkejut mendengarnya, sungguh tidak ia duga. Sheva hanya termangu keheranan menatap Nimo dengan setengah tidak percaya. Bagaimana bisa Nimo menebak pikirannya.
“Ni-nimo.. kenapa kamu.. k-kok… b-bisa..”
“Mulut kamu diam, tapi pikiran sama mata kamu bicara. Dan aku bisa denger semua itu di sini” Nimo meletakkan telapak tangannya di dada. Sorot matanya sungguh lembut menatap Sheva saat itu, seakan menenangkan sekaligus memberikan kekuatan baginya.
Sheva tersenyum getir, ia memalingkan wajahnya dari wajah Nimo sambil menghembuskan napas berat. Air matanya mulai menggenang. Dia tak sanggup berkata-kata lagi untuk saat ini.
“Aku bisa rasain itu, va. Apalagi kita duduk sebelahaan kayak gini. Rasanya kita jadi transparan untuk menerawang satu sama lain yah” Sheva bisa mendengar suara Nimo yang juga memberat. Suasana menjadi kelabu dan terdiam untuk sesaat. Hanya terdengar jelas suara ombak yang berkejaran di tengah laut.
Namun, bukan Nimo namanya kalau tidak pintar mengubah suasana. Tiba-tiba ia mencolek pundak Sheva, wajahnya langsung berubah ceria.
“Oh iya Sheva, kamu kenapa sih kepikiran buat bikin alis kaya gitu? Itu pake cat minyak apa gimana sih? Kamu jadi kelihatan lebih judes tahu, hehehehe”
Serasa mood-nya diangkat kembali, Sheva kembali tersenyum dan tertawa sedikit geli. “Diandra Geronimoo, ini namanya tato aliis yaaah… masa gak tahu, gak gaul sih kamu”
Nimo menatap dengan ekspresi mengejek, “oh tahu aku mah… yang pake spidol permanen itu kan?” ia terbahak dengan gurauannya sendiri.
Suasana segera mencair kembali, semudah itu. Sheva memang tidak pernah tidak terkesan terhadap Nimo. Sifat periang dan selera humor tinggi itu mengingatkan dirinya mengapa dia pernah jatuh cinta dengan pemuda berambut keriting ini. Waktu memang berlalu terlalu cepat.
“Tiga puluh tiga tahun, Sheva… sudah kepala tiga kita. Nggak kerasa ya?”
“Iya. Kita sudah nggak terlalu muda lagi, Mo. Banyak yang berubah, apalagi timbunan strech-mark di perutku setelah melahirkan”
“Buatku kamu tetap selalu cantik, tenang aja. Dan ada beberapa hal yang nggak berubah kok.. semuanya dijawab di hari ini. Kamu tahu itu.”
Benar juga, ada beberapa hal yang tidak akan lekang termakan waktu. Salah satunya adalah ikatan batin ini. Entah mengapa, perpisahan selama lebih dari tiga tahun lalu itu tidak berhasil juga benar-benar memisahkan ikatan ini.
***
Nimo memang selalu bisa mencerahkan hari-hari Sheva, begitupun sebaliknya. Sayangnya, keharmonisan mereka berdua ternyata belum cukup untuk mengesankan hati orangtua Sheva. Tuntutan dari orangtua Sheva untuk segera menikah juga tidak sanggup untuk Nimo penuhi ketika itu. Alasannya klasik, Nimo hanya merasa kurang mapan secara finansial. Nimo juga merasa masih terlalu cepat mereka untuk memutuskan untuk menikah. Saat itu usia mereka sama-sama masih 24 tahun.
Akhirnya, ada masanya di mana cinta mereka bukanlah menjadi hal yang potensial lagi untuk diteruskan. Terutama bagi Sheva, cintanya kepada Nimo tidak dapat digunakan lagi sebagai perisai untuk selalu menahan tekanan dari kedua orangtuanya. Nimo pun menjadi terkesan semakin lemah di mata kedua orangtua Sheva. Ketika restu sudah tidak mungkin lagi didapat, hubungan mereka yang terjalin selama lebih dari empat tahun akhirnya kandas begitu saja.
Beberapa bulan setelah itu, Sheva mengenal Dirgo. Dirgo adalah seorang pengusaha muda yang meneruskan pabrik konveksi milik ayahnya. Sosok yang dewasa, bersahaja, potensial dan mapan. Tidak heran, sosok Dirgolah yang akhirnya mendapatkan restu dari kedua orangtua Sheva. Saat ini kehidupannya bisa dibilang telah memenuhi kriteria orangtuanya yang selama ini dimaksud, memiliki sepasang anak kembar, asuransi terjamin dan tinggal di lingkungan real-estate.
Bagaimana dengan Nimo? Setelah benar-benar pulih dari depresi dan mengabiskan puluhan sesi konserling, akhirnya dia bertemu dengan Fara.
Fara adalah salah seorang rekan kerjanya di kantor. Kehadirannya dapat mengisi kehidupannya kembali yang sempat hampa. Sebagai seorang sahabat, Fara sungguh memahami posisi dirinya yang berada di dalam posisi sulit. Saat itu Nimo sangat merasa beruntung karena Fara dapat membantunya untuk bertahan dan bangkit dari keterpurukannya. Sekitar dua tahun lalu mereka akhirnya menikah dan saat ini Nimo memiliki seorang anak lucu yang masih balita.
***
Garis cakrawala membentang lurus di sepanjang lautan. Dari permukaan laut, tampak jelas pendaran bayangan matahari yang seolah-oleh tenggelam di dalam laut. Langit yang semula biru cerah perlahan berubah menjadi semakin berwarna jingga.
Awan tampak lebih berjauhan, menyisakan celah lebar sebagai lintasan bagi burung-burung camar yang ingin pulang. Udara yang semula membelai hangat kini berubah menjadi berhembus lebih dingin. Sheva memperhatikan suasana sekeliling sesaat. Ia ingin merekam dengan jelas dan mengingat segala detil yang berada di tempat ini, tepatnya di hari ini. Seolah-olah dia tidak rela kehilangan sedikitpun kenangan manis ini.
“Aku harus pulang, Nimo.. sudah mulai sore juga di sini”. Sheva tahu Nimo menunggunya untuk mengatakan perpisahan ini duluan.
Nimo tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Wajahnya terlihat begitu damai. Sheva merasa bersyukur melihat banyak perubahan positif pada diri Nimo. Saat itu juga Sheva ingin sekali berterima kasih kepada Fara karena dapat mendampinginya di masa-masa sulit. Tanpa adanya Fara, mungkin Nimo juga tidak akan menjadi sebijak ini.
Sheva membalas senyuman Nimo. Lalu ia menuruni batu besar tempat mereka duduk, meninggalkan Nimo yang sedang berdiri di ujungnya. Mereka tahu, saat ini tidak diperlukan lagi kata-kata hanya untuk menunjukkan perasaan tertentu.
Ini bukanlah suatu perpisahan karena mereka sudah pernah mengalami perpisahan sebelumnya. Berbeda dengan dulu, saat ini mereka juga harus memberikan batasan untuk perasaan emosional satu sama lain. Kenyataannya, senyum simpul saja sudah cukup untuk mewakili kata “terima kasih untuk semua di hari ini” bagi mereka.
Sheva tiba-tiba terkejut mendengar suara lantang Nimo dari belakang.
“Kamu harus tahu Sheva! Fara nggak akan pernah gantiin kamu. Dirgo juga nggak akan pernah gantiin aku. Ini adalah takdir, jalan hidup yang harus kita lalui. Jalan terus Sheva, jangan pernah sekalipun kamu nengok ke belakang. Kita punya happy ending di kehidupan masing-masing. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk kamu. Selamat jalan, Shevaa!”
Sheva terhenyak mendengarnya. Suatu pandangan yang sangat bijak dari Diandra Geronimo yang dulu merupakan cinta matinya. Air matanya langsung menghambur keluar dari matanya. Air mata bahagia yang keluar deras, namun tanpa isak yang menyakitkan. Saat itu Sheva memutuskan untuk menjadi setegar Nimo, dia tetap berjalan meninggalkan Nimo.
Melihat Sheva yang pergi, Nimo hanya pasrah melihatnya. Ia terduduk lemas di atas lututnya dan membalikkan badannya ke arah lautan dengan gontai. Mereka saling membelakangi, memfasilitasi jarak dan waktu untuk menguatkan diri mereka satu sama lain. Kemudian mereka terpisah jauh, semakin jauh dari kekangan emosional di masa lalu dan melepaskan segala kepahitan yang sempat membelenggu jiwa mereka.
Sheva tersenyum kecil menanggapi Nimo. Nimo yang selalu Sheva kenal. Sebenarnya ia sangat ingin meladeni seluruh celotehan dan tingkah laku Nimo yang super ceria itu. Namun tubuh Sheva sudah lumayan merasa letih dan ingin meluruskan kakinya dulu sejenak.
“I-iya Nimo. Nanti aku lihat.. tapi aku mau selonjoran dulu yah sebentar.. oke?”
Nimo sepertinya tidak terlalu mengindahkan permintaan Sheva. Langsung ia menghampirinya yang sedang duduk di atas pasir pantai dengan ekspresi merajuk. Gaya berjalannya sungguh seperti anak kecil yang menghampiri ibunya untuk memaksanya masuk ke dalam toko mainan.
“Oke Nimo… oke… iya ini aku lihat anak kepitingnya deh” Sheva mengalah, ia bangkit sebelum Nimo menarik tangannya.
Nimo segera berlari lagi sambil menunjuk-nunjuk anak kepiting itu. Sheva segera menghampirinya dan menjadi penasaran seperti apa anak kepiting yang sangat menarik perhatian Nimo itu. Ternyata benar, anak kepiting itu memiliki bentuk yang cantik. Tempurungnya berwana hijau tua dengan bintik-bintik berwana merah terang.
Sungguh indah, jarang Sheva lihat yang wujudnya seperti itu. Nimo kemudian tertawa renyah, merasa bahagia dan puas telah menunjukkan hewan cantik ini kepada Sheva. Pikir Sheva, Nimo memang memiliki paras yang menawan. Rambut keritingnya yang tertiup angin pantai, suara tawanya yang renyah dan lesung pipi dalamnya itu selalu dapat memesonanya seperti terakhir kali Sheva melihatnya. Sheva tersipu dan merasakan hembusan desiran hangat di dalam hatinya.
Tidak terasa ssudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu berdua di pantai. Membuat istana pasir, bermain ombak, hingga berbicara dan tertawa melantur hampir sudah mereka lakukan semuanya. Sheva tidak menduga bahwa hari ini akan berwujud seindah ini. Dia juga sangat bahagia karena Nimo tidak berubah sedikitpun. Tetap periang, sedikit kekanakan, msudah tertawa, sensitif dan selalu memiliki kreatifitas yang tidak terbatas dalam menggambarkan imajinasinya menjadi wujud yang konkrit.
Sebenarnya Sheva juga merasa iri terhadap semangat Nimo. Semangat yang selalu terpancar dari sorot matanya ternyata tidak menurun sama sekali. Sheva heran, seakan-akan Nimo tidak pernah merasa sedih ataupun digerogoti oleh kepahitan dalam hidupnya.
Hanya dengan melihat tatapan Nimo, Sheva seakan-akan mendapat kembali semangatnya. Sorot mata yang periang namun lembut, membuat Sheva merasakan seperti kembali ke rumahnya. Selama ini Nimo hadir bagaikan cermin terhadap diri Sheva. Terlalu banyak persamaan yang ada pada diri mereka.
Mereka saling memantulkan semangat dan kesedihan satu sama lain. Tanpa banyak kata-kata yang terucap, Nimo dan Sheva selalu bisa merasakan gejolak perasaan satu sama lain. Segala hal yang baik dan buruk terasa begitu relatif bagi mereka berdua.
Hari ini mereka merasa seperti terlahir kembali. Seperti anak kecil, mereka menciptakan kebahagiaan murni yang tiada batas. Kebahagiaan yang membuat hati Sheva terasa begitu penuh dan serasa ingin meledak.
Tanpa terasa, langit ssudah mulai meredup. Matahari rupanya sudah tidak terlalu bersemangat untuk memancarkan cahayanya, namun hari juga belum kunjung gelap. Suara beberapa ekor burung camar juga masih terdengar dari kejauhan. Pikir Sheva, mereka masih memiliki waktu beberapa saat lagi.
Saat ini Sheva sangat berharap agar Tuhan memberikan durasi tambahan supaya Ia tidak segera menenggelamkan matahari di hari ini.
“Nimo, kita pindah duduk di situ aja yuk. Kayaknya mataharinya bisa kelihatan lebih jelas” ajak Sheva dengan spontan.
“Boleh, boleh.. yuk kita pindah” Mereka langsung berjalan menuju batu besar yang ditunjukkan Sheva tersebut. Nimo memang figur yang easy-going, dia tidak pernah mempersulit segala hal. Di atas batu itu, mereka berdua duduk bersebelahan.
Sesungguhnya Sheva merasa berat untuk kembali ke realita hidupnya. Ia tahu waktunya tidak akan lama lagi. Namun di satu sisi, hidupnya saat ini adalah kehidupan impian yang selalu ia dambakan sejak dulu dan tak mungkin Sheva tinggalkan. Pandangannya lalu menuju ke bawah, melihat gelombang-gelombang air laut yang menghantam batu besar di bawah tempat mereka duduk.
“Semua orang punya proses pendewasaannya, Sheva. Mungkin hari ini bukan esensi sebenarnya dari kehidupan kita. Tapi… yah, anggap aja ini kayak mimpi indah. Terasa indah untuk sesaat, tapi habis itu kita bangun dan melanjutkan hidup lagi.” Nimo tersenyum lebar.
Sheva terkejut mendengarnya, sungguh tidak ia duga. Sheva hanya termangu keheranan menatap Nimo dengan setengah tidak percaya. Bagaimana bisa Nimo menebak pikirannya.
“Ni-nimo.. kenapa kamu.. k-kok… b-bisa..”
“Mulut kamu diam, tapi pikiran sama mata kamu bicara. Dan aku bisa denger semua itu di sini” Nimo meletakkan telapak tangannya di dada. Sorot matanya sungguh lembut menatap Sheva saat itu, seakan menenangkan sekaligus memberikan kekuatan baginya.
Sheva tersenyum getir, ia memalingkan wajahnya dari wajah Nimo sambil menghembuskan napas berat. Air matanya mulai menggenang. Dia tak sanggup berkata-kata lagi untuk saat ini.
“Aku bisa rasain itu, va. Apalagi kita duduk sebelahaan kayak gini. Rasanya kita jadi transparan untuk menerawang satu sama lain yah” Sheva bisa mendengar suara Nimo yang juga memberat. Suasana menjadi kelabu dan terdiam untuk sesaat. Hanya terdengar jelas suara ombak yang berkejaran di tengah laut.
Namun, bukan Nimo namanya kalau tidak pintar mengubah suasana. Tiba-tiba ia mencolek pundak Sheva, wajahnya langsung berubah ceria.
“Oh iya Sheva, kamu kenapa sih kepikiran buat bikin alis kaya gitu? Itu pake cat minyak apa gimana sih? Kamu jadi kelihatan lebih judes tahu, hehehehe”
Serasa mood-nya diangkat kembali, Sheva kembali tersenyum dan tertawa sedikit geli. “Diandra Geronimoo, ini namanya tato aliis yaaah… masa gak tahu, gak gaul sih kamu”
Nimo menatap dengan ekspresi mengejek, “oh tahu aku mah… yang pake spidol permanen itu kan?” ia terbahak dengan gurauannya sendiri.
Suasana segera mencair kembali, semudah itu. Sheva memang tidak pernah tidak terkesan terhadap Nimo. Sifat periang dan selera humor tinggi itu mengingatkan dirinya mengapa dia pernah jatuh cinta dengan pemuda berambut keriting ini. Waktu memang berlalu terlalu cepat.
“Tiga puluh tiga tahun, Sheva… sudah kepala tiga kita. Nggak kerasa ya?”
“Iya. Kita sudah nggak terlalu muda lagi, Mo. Banyak yang berubah, apalagi timbunan strech-mark di perutku setelah melahirkan”
“Buatku kamu tetap selalu cantik, tenang aja. Dan ada beberapa hal yang nggak berubah kok.. semuanya dijawab di hari ini. Kamu tahu itu.”
Benar juga, ada beberapa hal yang tidak akan lekang termakan waktu. Salah satunya adalah ikatan batin ini. Entah mengapa, perpisahan selama lebih dari tiga tahun lalu itu tidak berhasil juga benar-benar memisahkan ikatan ini.
***
Nimo memang selalu bisa mencerahkan hari-hari Sheva, begitupun sebaliknya. Sayangnya, keharmonisan mereka berdua ternyata belum cukup untuk mengesankan hati orangtua Sheva. Tuntutan dari orangtua Sheva untuk segera menikah juga tidak sanggup untuk Nimo penuhi ketika itu. Alasannya klasik, Nimo hanya merasa kurang mapan secara finansial. Nimo juga merasa masih terlalu cepat mereka untuk memutuskan untuk menikah. Saat itu usia mereka sama-sama masih 24 tahun.
Akhirnya, ada masanya di mana cinta mereka bukanlah menjadi hal yang potensial lagi untuk diteruskan. Terutama bagi Sheva, cintanya kepada Nimo tidak dapat digunakan lagi sebagai perisai untuk selalu menahan tekanan dari kedua orangtuanya. Nimo pun menjadi terkesan semakin lemah di mata kedua orangtua Sheva. Ketika restu sudah tidak mungkin lagi didapat, hubungan mereka yang terjalin selama lebih dari empat tahun akhirnya kandas begitu saja.
Beberapa bulan setelah itu, Sheva mengenal Dirgo. Dirgo adalah seorang pengusaha muda yang meneruskan pabrik konveksi milik ayahnya. Sosok yang dewasa, bersahaja, potensial dan mapan. Tidak heran, sosok Dirgolah yang akhirnya mendapatkan restu dari kedua orangtua Sheva. Saat ini kehidupannya bisa dibilang telah memenuhi kriteria orangtuanya yang selama ini dimaksud, memiliki sepasang anak kembar, asuransi terjamin dan tinggal di lingkungan real-estate.
Bagaimana dengan Nimo? Setelah benar-benar pulih dari depresi dan mengabiskan puluhan sesi konserling, akhirnya dia bertemu dengan Fara.
Fara adalah salah seorang rekan kerjanya di kantor. Kehadirannya dapat mengisi kehidupannya kembali yang sempat hampa. Sebagai seorang sahabat, Fara sungguh memahami posisi dirinya yang berada di dalam posisi sulit. Saat itu Nimo sangat merasa beruntung karena Fara dapat membantunya untuk bertahan dan bangkit dari keterpurukannya. Sekitar dua tahun lalu mereka akhirnya menikah dan saat ini Nimo memiliki seorang anak lucu yang masih balita.
***
Garis cakrawala membentang lurus di sepanjang lautan. Dari permukaan laut, tampak jelas pendaran bayangan matahari yang seolah-oleh tenggelam di dalam laut. Langit yang semula biru cerah perlahan berubah menjadi semakin berwarna jingga.
Awan tampak lebih berjauhan, menyisakan celah lebar sebagai lintasan bagi burung-burung camar yang ingin pulang. Udara yang semula membelai hangat kini berubah menjadi berhembus lebih dingin. Sheva memperhatikan suasana sekeliling sesaat. Ia ingin merekam dengan jelas dan mengingat segala detil yang berada di tempat ini, tepatnya di hari ini. Seolah-olah dia tidak rela kehilangan sedikitpun kenangan manis ini.
“Aku harus pulang, Nimo.. sudah mulai sore juga di sini”. Sheva tahu Nimo menunggunya untuk mengatakan perpisahan ini duluan.
Nimo tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Wajahnya terlihat begitu damai. Sheva merasa bersyukur melihat banyak perubahan positif pada diri Nimo. Saat itu juga Sheva ingin sekali berterima kasih kepada Fara karena dapat mendampinginya di masa-masa sulit. Tanpa adanya Fara, mungkin Nimo juga tidak akan menjadi sebijak ini.
Sheva membalas senyuman Nimo. Lalu ia menuruni batu besar tempat mereka duduk, meninggalkan Nimo yang sedang berdiri di ujungnya. Mereka tahu, saat ini tidak diperlukan lagi kata-kata hanya untuk menunjukkan perasaan tertentu.
Ini bukanlah suatu perpisahan karena mereka sudah pernah mengalami perpisahan sebelumnya. Berbeda dengan dulu, saat ini mereka juga harus memberikan batasan untuk perasaan emosional satu sama lain. Kenyataannya, senyum simpul saja sudah cukup untuk mewakili kata “terima kasih untuk semua di hari ini” bagi mereka.
Sheva tiba-tiba terkejut mendengar suara lantang Nimo dari belakang.
“Kamu harus tahu Sheva! Fara nggak akan pernah gantiin kamu. Dirgo juga nggak akan pernah gantiin aku. Ini adalah takdir, jalan hidup yang harus kita lalui. Jalan terus Sheva, jangan pernah sekalipun kamu nengok ke belakang. Kita punya happy ending di kehidupan masing-masing. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk kamu. Selamat jalan, Shevaa!”
Sheva terhenyak mendengarnya. Suatu pandangan yang sangat bijak dari Diandra Geronimo yang dulu merupakan cinta matinya. Air matanya langsung menghambur keluar dari matanya. Air mata bahagia yang keluar deras, namun tanpa isak yang menyakitkan. Saat itu Sheva memutuskan untuk menjadi setegar Nimo, dia tetap berjalan meninggalkan Nimo.
Melihat Sheva yang pergi, Nimo hanya pasrah melihatnya. Ia terduduk lemas di atas lututnya dan membalikkan badannya ke arah lautan dengan gontai. Mereka saling membelakangi, memfasilitasi jarak dan waktu untuk menguatkan diri mereka satu sama lain. Kemudian mereka terpisah jauh, semakin jauh dari kekangan emosional di masa lalu dan melepaskan segala kepahitan yang sempat membelenggu jiwa mereka.
0 comments