Jam pulang anak sekolah sudah dari 2 jam yang lalu. Entah sampai kapan ia harus terus menunggu hujan reda di halte tempat ia berpijak.
“Sial! Gara-gara Oik jadi kejebak hujan gini kan!” gerutunya kesal.
Ah iya. Dia terlambat pulang akibat ulah Oik. Karena di jam pelajaran sejarah tadi, Oik ketinggalan mencatat, jadilah dia menunggui Oik mencatat. Pasalnya, Oik itu adalah sahabatnya. Makanya dia rela nungguin Oik, supaya bisa pulang bareng juga. Namun apa daya, tiba-tiba Oik dijemput oleh kekasihnya. Dan akhirnya ia harus pulang sendiri seperti saat ini.
“Oik nyebelin! Hujan nyebelin! Semuanya nyebelin!” teriak gadis itu tak jelas. Ia tak peduli orang akan menganggapnya gila. Persetan orang gila.
“Berisik!” ujar seseorang tiba-tiba.
Ia pun kaget, dengan cepat ia menoleh kesumber suara. Dan, GOSH! Dia tampan sekali! Di sebelahnya ada seorang pemuda yang mencibirnya tadi. Pemuda berwajah seperti orang Korea, dengan mata hazel yang mampu menghipnotis kaum hawa, beperawakan tinggi atletis, dan berkulit putih. Ah sempurna. Tapi tunggu pemuda itu sama dengannya, masih mengenakan seragam sekolah.
“Kamu siapa?” tanya si gadis dengan wajah takut. Ya meskipun dia tampan -menurutnya- tapi siapa tahu dia berniat berbuat jahat. Eh tapi mana mungkin, pemuda itu kan pelajar, sama seperti dirinya.
“Gak usah takut. Aku gak gigit orang kok,” bukannya menjawab, pemuda itu malah menggodanya.
“Ish! Siapa yang takut sama kamu?”
“Kamulah, siapa lagi yang ada di sini selain aku sama kamu? Hahahaha,” ledek si pemuda.
“Mmm, hujannya udah sedikit reda nih, aku anter pulang yuk!”
Oh My Allah, mimpi apa aku semalem. Dianterin pulang cowok ganteng gini pula! Wah, Wah, Wah, Dewa Fortuna lagi berpihak di gue nih. Hahaha,” batin gadis itu bahagia. Dengan semangat, ia menganggukkan kepala.
“Sip, bentar ya!”
Pemuda itu berlari menyebrang jalan. Ia meminta kardus ke penjual pinggir jalan raya itu. Kemudian ia kembali ke halte tadi. “Ayo! Keburu deres lagi entar!” kata si pemuda.
Gadis itu mendekat ke arahnya. Mereka berjalan berdua dengan berlindung di bawah kardus tadi. Keheningan sama sekali tak terjadi di antara mereka. Mereka justru saling bertanya satu sama lain mengenai diri masing-masing.
“Ng, Rumahmu di mana?” tanya si gadis.
“Samping rumahmu,”
“What?! Apa maksudnya? Ah sebentar. Di samping rumahku memang ada penghuni baru -kata mama- tapi gue sama sekali gak nyangka, bahwa dia adalah si penghuni itu?” Bathin si gadis terkejut.
“Jadi, kamu penghuni rumah sampingku itu?” dengan wajah shock pastinya.
“Bingo! Makanya jangan di dalam rumah terus, jadi gak tahu kan punya tetangga tampan kaya aku.”
“Ng, hehehe,” gadis itu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Ah, Dia salting.
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di rumah si gadis itu.
“Makasih Ng-” gadis itu bingung melanjutkan ucapannya, lantaran ia tidak tahu nama pemuda di hadapannya.
Melihat gadis itu kebingungan, pemuda itu dengan gesit memberi tahu namanya, “Cakka, aku Cakka.” katanya disertai senyuman mautnya.
Ah, ini seperti mimpi. Pertemuan di bawah naungan hujan itu membuatku berdebar tak karuan. Well, aku tak lagi membenci hujan. Karena sekarang, aku sangat mencintai hujan. Terima kasih, hujan.
The End
0 comments