Wednesday, November 11, 2015

Sesuatu Yang Hilang


Sebelumnya, gue mau ngucapin selamat hari jadi dulu buat gue dan pacar gue, Euis, yang kedua tahun tepat 9 oktober kemarin. Gue bahagia bener, soalnya ini pertama kalinya gue pacaran sampai selama ini. karena kebeneran, dulu gue memang belum pernah punya pacar. Tapi gue bahagia, ini pertama kalinya gue pacaran, dan gue semakin yakin kalau dia bakal jadi yang terakhir buat gue juga. Setelah apa yang telah kita lalui selama ini, kayanya gue merasa sama dengan dia. kita memang sama dalam banyak hal, seperti, kita sama-sama suka, kita sama-sama punya orangtua, dan yang terpenting, kita sama-sama suka nonton doraemon. Untuk mencari pasangan yang bakal setia, carilah pasangan yang menurut kita dia itu sama dengan kita, mulai dari karakternya, sampai kekehidupan keluarganya, carilah yang sama. Dengan kesamaan itulah, kita akan mudah mengerti satu sama lain.
Selama gue pacaran dengan Euis pun gue merasa bebas, gue gak perlu harus repot-repot menjadi orang lain hanya demi membuat dia terkesan. Gue hanya perlu menjadi diri gue sendiri yang apa adanya dan gak ada apa-apanya. Karena Euis ini termasuk cewek yang bisa nerima cowok apa adanya. Walaupun dia suka doraemon, tapi dia bukan termasuk tipe cewek yang banyak nuntut. Die menganggap kalo kekurangan gue adalah sesuatu yang wajar, dan tidak perlu dipermasalahkan. Karena menurut dia yang terpenting adalah sikap gue yang harus bisa ngejaga perasaan dia.
Di tahun yang kedua ini, banyak sekali kejadian-kejadian aneh gue dengan dia, yang gue coba untuk ingat kembali. Gue gali terus memori otak gue sampai yang paling dalam, dan akhirnya gue inget untuk pertama kalinya gue megang tangan dia. waktu itu gue telah pacaran dengan dia selama kurang lebih empat bulan, setelah empat bulan pacaran, gue baru berani megang tangan dia. bayangin, empat bulan pacaran, gue baru berani megang tangan dia. beda banget sama anak muda sekarang, yang baru aja pacaran seminggu, tapi bibir udah monyong-monyong minta cium.
Waktu itu kita berdua sedang ingin menyebrang jalan menuju 21cinema untuk menonton film. Saat itu gue mikir, inilah kesempatan gue untuk bisa megang tangan dia, dan gue harus berani megang tangan dia erat-erat. disaat kita berdua sedang ingin menyebrang, gue langsung bilang ke dia…
“doh, aku pegang tangan kamu ya” kata gue “hanya untuk nyebrang jalan aja kok”
“iya doh” Euis memberi ijin.
Kita berdua pun nyebrang jalan sambil tuntunan, persis seperti di film drama korea, romantis namun sedikit amis.
Sesampainya di seberang, gue langsung melepaskan genggaman tangan kita, tapi baru aja gue ngelepasin genggamannya, dengan sigap Euis kembali megang tangan gue.
“kenapa dilepasin? pegang aja gak apa-apa” kata Euis, sambil memegang tangan gue.
Saat itu gue nggak menyangka kalau Euis akan berani berbuat nekat seperti ini, gue kaget, rasanya ingin sekali gue ngejerit, terus ngomong, IYEEEE!. Tapi gue nggak berani, karena takut dikatain gila.
“iya” jawab gue, singkat. Agar terlihat cool.
Sepanjang perjalanan kita berdua terus saja begandengan tangan sampai ke 21cinema. Walaupun banyak orang yang ngeliatin kita berdua, tapi saat itu gue nggak mempedulikan mereka. Karena saat itu yang ada di pikiran gue hanya satu, gue-bisa-pegang-tangan-dia. dan gue bahagia. Gak perduli orang lain mau menilai kita seperti apa, ketika itu gue nggak ada rasa malu sama sekali, walaupun sejujurnya gue orangnya pemalu, tapi ketika gue megang tangan dia, rasa malu itu langsung hilang.
Rencananya untuk merayakan hari jadi kita yang kedua tahun, gue ingin mengajak dia nonton. Gue akan ngajak dia nonton film Manusia Setengah Salmon. Sengeja gue milih nonton film itu karena, di film itu banyak sekali adegan lucu yang mungkin bisa ngebuat dia ketawa, dan gue udah riset, kalo kita bisa membuat pasangan kita ketawa, berarti kita sudah bisa mendapatkan dia sepenuhnya.
Gue udah mempersiapkan rencana ini sebaik mungkin, bahkan gue udah bilang ke dia kalau gue mau ngajak dia nonton, dan dia terlihat senang.
“serius mau ngajak aku nonton?” tanya Euis, dengan wajah semeringah.
“iya, kamu mau kan?” kata gue.
“mau, mau. aku kan udah lama gak nonton”
“sama aku juga udah lama gak nonton, soalnya tipi di rumah aku rusak. haha”
“haha, lucu!”
Gue merasa kalo belakangan ini gue udah jarang ngajak dia maen, nggak seperti di awal-awal kita pacaran yang setiap minggu pasti ada waktu maen. Sekarang ini kita udah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Kita hanya ketemu di sekolahan aja, tepatnya di jam istirahat. Karena hanya saat itulah kita bisa mengobrol bersama. Mungkin ini yang membuat Euis sangat senang ketika gue ngajak dia nonton.
“eh, kamu inget gak pas pertama kali kita pergi nonton” lanjut Euis, membuyarkan lamunan gue.
“inget, pas empat bulan pertama kita pacaran kan?” kata gue.
“iya, lucu ya waktu itu”
“lucu? apanya yang lucu?”
“lucu aja,” euis memberikan penjelasan “waktu itu kita kan nonton film horor, padahal kan waktu itu banyak film romantis, tapi kita lebih memilih nonton film horor”
“haha, iya juga, kok bisa ya?”
“mungkin saat itu kita tidak terlalu mempedulikan apa-apa, karena kita sudah terlalu senang bisa pergi nonton”
“iya juga ya, waktu itu aku merasa jalan berdua dengan kamu aja udah seneng banget”
“hemm.. aku kangen kita yang dulu”
“iya aku juga.”
Sekarang gue baru sadar, kalau dulu itu kita berdua sangat romantis. Kalau mau kemana-mana kita harus rela naik angkutan umum, karena dulu itu gue belum punya kendaraan. Padahal dulu itu gue merasa kalau cara pacaran kita itu kaya anak kecil, tapi justru sekarang gue merasa kalau yang kaya anak kecil itulah yang gue inginkan saat ini. bukan hanya menaiki angkutan umum aja, ketika makan pun kita sering banget makan satu piring berdua, walaupun aneh, tapi itulah yang gue kangenin saat ini. kalau sekarang kayanya kita gak mau lagi naik angkutan umum bila mau pergi main, atau tidak mau lagi makan sepiring berdua, apabila kita tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli dua piring makanan, kita lebih tidak memilih untuk makan.
Dari semua nostalgia yang gue inget itulah, nantinya disaat gue akan pergi bareng dia, gue akan melakukan berbagai hal yang dulu pernah gue lakuin. Gue akan mencoba memegang tangan dia lagi saat sedang jalan, gue mau mencoba makan sepiring berdua lagi dengan dia, dan gue juga mau bilang kalau gue sayang banget sama dia, persis seperti waktu pertama kali gue nembak dia.
Tepat di hari kita akan pergi nonton, gue menjemput dia.
Setelah sampai, dan saat gue melihat dia, gue merasa kalau malem itu dia terlihat dewasa sekali, dia mengenakan celana jeans warna crem dengan blazer hitam, dia terlihat cantik dan dewasa dengan pakaian itu. Sedangkan gue, gue hanya memakai pakaian seperti anak kecil, yaitu sendal jepit dan celana cino sama baju kerah warna biru. Gue jadi merasa kalau sedang jalan dengan majikan sendiri malam itu.
“kamu kok lama nyusul aku nya, nanti filmnya keburu mulai loh” kata Euis, sambil naik ke atas motor.
“maaf ya, tadi aku nganter ibu dulu soalnya” gue memberi alesan.
“ya udah gak papa”
“kamu keliatan dewasa malam ini” kata gue, mencoba menilai cara berpakaian dia.
“iya tah doh, tapi kamu suka kan?”
“oh suka, suka banget. Jadi terlihat beda aja kamunya”
“makasih ya, kamu juga terlihat keren kok”
“ah yang bener” gue mulai ge-er, sambil senyum sendiri.
“iya kalo dibandingin sama anak kecil di depan rumah aku, haha”
“hahah.” Gue malah sok-sokan ketawa, padahal hati menangis.
Gue udah berencana ketika nanti disaat kita telah sampai tujuan, dan telah turun dari motor, gue akan langsung gandeng tangan dia. dan gue juga berencana untuk ngajak dia makan dulu sebelum nonton. Gue akan makan bareng dia sepiring berdua. Setelah itu gue akan ngomong ke dia, kalau gue sayang banget sama dia. pokoknya, semua rencana itu harus gue lakuin.
Sesampainya di tempat tujuan, dan motor telah terparkir. Gue yang tadinya berencana untuk megang tangan dia, ternyata gagal, karena saat itu ramai sekali orang, membuat gue malu untuk megang tangan dia. terus disaat gue mau ngajak dia makan, lagi-lagi gagal. Karena film yang akan kita tonton itu ternyata sudah mau mulai. Dua rencana yang telah gue persiapkan pun gagal total. Semua ini semakin diperparah dengan kita yang kebagian tempat duduk paling depan saat nonton nanti. Gue yakin kalo nanti pas udah selesai nonton mata gue akan keluar, dan leher gue akan berputar 180 derajat, karena kedeketan nontonnya.
“gak papa ya doh nontonnya paling depan?” tanya gue.
“ya udah doh gak papa deh” jawab Euis, pasrah
“coba kita datengnya lebih awal ya”
“kamu si kelamaan”
“iya iya maaf. Ya udah yuk masuk”
“iya”
Setelah berada di dalam bioskop, dan film telah diputar. Kita berdua pun mulai menikmati suasana yang tercipta. Sesekali kita ketawa dengan satu adegan yang kita anggep lucu, dan sesekali gue melihat ke arah dia. ketika itu gue merasa seneng bener karena telah memberikan dia kebahagiaan, walaupun hanya sedikit. Gue pegang tangan dia erat-erat, dan dia ngebales pegangan tangan gue, terus kepala dia direbahkan tepat di atas pundak gue. gue merasa, kalau inilah yang gue cari selama ini, sudah jarang kita mendapat kesempatan untuk sedekat ini. sebab itulah gue mau menikmatinya sebaik mungkin.
Ada satu adegan di film itu yang nanti akan gue tiru, yaitu disaat si Dika mengantar Patricia pulang, terus setelah sampai di rumah Patricia, Dika langsung ngomong makasih ke Patricia untuk malem ini. Patricia hanya tersenyum ketika Dika ngomong seperti itu. Dan gue menganggap itu satu hal yang romantis, dan gue akan menirunya nanti ketika gue nganter dia pulang.
Setelah lebih dari satu jam, akhirnya film itu berakhir. Dengan begitu pegangan tangan kita berakhir juga. Kita langsung keluar dari ruangan bioskop, dan langsung menuju tempat parkir. Gue sadar saat itu, kalau gue hanya berani megang tangan dia disaat orang lain tidak ada yang melihat. Kita berjalan bersampingan sambil sesekali ketawa karena teringat adegan lucu di film tadi.
Di atas motor, kita berdua hanya diem-dieman, sekarang Euis memeluk badan gue dari belakang dengan kepala yang kembali ditempelkan di pundak gue. sepertinya saat itu Euis sudah terlalu lelah, karena waktu pun sudah menunjukan pukul sepuluh malam, yang bagi kita itu sudah terlalu malam. Banyak sekali yang gue fikirkan saat itu di atas motor, sesuatu yang gue anggap telah hilang dari cara kita berpacaran. baik dulu dan sekarang, gue udah merasa beda. Tidak ada lagi yang namanya pegangan tangan saat berjalan, tidak ada lagi makan sepiring berdua. Satu hal yang masih tersisa sampai saat ini adalah, gue masih sayang sama dia, begitupun sebaliknya. Gue merasa kalau kita mungkin sudah terlalu dewasa, sehingga kita tidak perlu lagi memperlihatkan kemesraan di depan orang banyak, hanya kita berdua sajalah yang tau bagaimana kita.
Sesampainya di depan rumah Euis, setelah dia turun dari motor gue langsung ngomong seperti di film tadi…
“makasih ya doh untuk malem ini” kata gue, menirukan Dika di film tadi.
“ye, kamu niruin adegan di film tadi ya” sahut Euis “huu gak kreatif” ternyata Euis sudah hafal bener dengan cerita film tadi. Gue sempet malu saat itu, gue diem sebentar memandang mata dia, lalu ngomong lagi.
“tapi serius lu, aku seneng banget malem ini” lanjut gue.
“yang bener?” tanya Euis.
“iya beneran, makasih ya udah mau nemenin aku malam ini. Aku sayang banget sama kamu” kata gue, berharap Euis tidak nangis setelah mendengar kata-kata itu dari gue.
Euis hanya senyum, dia tidak membalas kata-kata yang tadi gue ucapkan, dia hanya memandang tajam ke dalam mata gue, seolah memberi tahu kalau dia juga sayang sama gue dan dia bahagia malam ini.
Read more

HINGGA MENJELANG SENJA

“Sheevaaa…sinii lihaaattt! Ada anak kepiting lucu bangeet..” Nimo memanggil Sheva dengan sangat antusias. Nimo terlihat begitu senang, kakinya melompat-lompat kecil di atas pasir pantai dengan gemas. Gaya bicaranya sangat kekanak-kanakan, volume suaranya juga meninggi.
Sheva tersenyum kecil menanggapi Nimo. Nimo yang selalu Sheva kenal. Sebenarnya ia sangat ingin meladeni seluruh celotehan dan tingkah laku Nimo yang super ceria itu. Namun tubuh Sheva sudah lumayan merasa letih dan ingin meluruskan kakinya dulu sejenak.
“I-iya Nimo. Nanti aku lihat.. tapi aku mau selonjoran dulu yah sebentar.. oke?”
Nimo sepertinya tidak terlalu mengindahkan permintaan Sheva. Langsung ia menghampirinya yang sedang duduk di atas pasir pantai dengan ekspresi merajuk. Gaya berjalannya sungguh seperti anak kecil yang menghampiri ibunya untuk memaksanya masuk ke dalam toko mainan.
“Oke Nimo… oke… iya ini aku lihat anak kepitingnya deh” Sheva mengalah, ia bangkit sebelum Nimo menarik tangannya.
Nimo segera berlari lagi sambil menunjuk-nunjuk anak kepiting itu. Sheva segera menghampirinya dan menjadi penasaran seperti apa anak kepiting yang sangat menarik perhatian Nimo itu. Ternyata benar, anak kepiting itu memiliki bentuk yang cantik. Tempurungnya berwana hijau tua dengan bintik-bintik berwana merah terang.
Sungguh indah, jarang Sheva lihat yang wujudnya seperti itu. Nimo kemudian tertawa renyah, merasa bahagia dan puas telah menunjukkan hewan cantik ini kepada Sheva. Pikir Sheva, Nimo memang memiliki paras yang menawan. Rambut keritingnya yang tertiup angin pantai, suara tawanya yang renyah dan lesung pipi dalamnya itu selalu dapat memesonanya seperti terakhir kali Sheva melihatnya. Sheva tersipu dan merasakan hembusan desiran hangat di dalam hatinya.
Tidak terasa ssudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu berdua di pantai. Membuat istana pasir, bermain ombak, hingga berbicara dan tertawa melantur hampir sudah mereka lakukan semuanya. Sheva tidak menduga bahwa hari ini akan berwujud seindah ini. Dia juga sangat bahagia karena Nimo tidak berubah sedikitpun. Tetap periang, sedikit kekanakan, msudah tertawa, sensitif dan selalu memiliki kreatifitas yang tidak terbatas dalam menggambarkan imajinasinya menjadi wujud yang konkrit.
Sebenarnya Sheva juga merasa iri terhadap semangat Nimo. Semangat yang selalu terpancar dari sorot matanya ternyata tidak menurun sama sekali. Sheva heran, seakan-akan Nimo tidak pernah merasa sedih ataupun digerogoti oleh kepahitan dalam hidupnya.
Hanya dengan melihat tatapan Nimo, Sheva seakan-akan mendapat kembali semangatnya. Sorot mata yang periang namun lembut, membuat Sheva merasakan seperti kembali ke rumahnya. Selama ini Nimo hadir bagaikan cermin terhadap diri Sheva. Terlalu banyak persamaan yang ada pada diri mereka.
Mereka saling memantulkan semangat dan kesedihan satu sama lain. Tanpa banyak kata-kata yang terucap, Nimo dan Sheva selalu bisa merasakan gejolak perasaan satu sama lain. Segala hal yang baik dan buruk terasa begitu relatif bagi mereka berdua.
Hari ini mereka merasa seperti terlahir kembali. Seperti anak kecil, mereka menciptakan kebahagiaan murni yang tiada batas. Kebahagiaan yang membuat hati Sheva terasa begitu penuh dan serasa ingin meledak.
Tanpa terasa, langit ssudah mulai meredup. Matahari rupanya sudah tidak terlalu bersemangat untuk memancarkan cahayanya, namun hari juga belum kunjung gelap. Suara beberapa ekor burung camar juga masih terdengar dari kejauhan. Pikir Sheva, mereka masih memiliki waktu beberapa saat lagi.
Saat ini Sheva sangat berharap agar Tuhan memberikan durasi tambahan supaya Ia tidak segera menenggelamkan matahari di hari ini.
“Nimo, kita pindah duduk di situ aja yuk. Kayaknya mataharinya bisa kelihatan lebih jelas” ajak Sheva dengan spontan.
“Boleh, boleh.. yuk kita pindah” Mereka langsung berjalan menuju batu besar yang ditunjukkan Sheva tersebut. Nimo memang figur yang easy-going, dia tidak pernah mempersulit segala hal. Di atas batu itu, mereka berdua duduk bersebelahan.
Sesungguhnya Sheva merasa berat untuk kembali ke realita hidupnya. Ia tahu waktunya tidak akan lama lagi. Namun di satu sisi, hidupnya saat ini adalah kehidupan impian yang selalu ia dambakan sejak dulu dan tak mungkin Sheva tinggalkan. Pandangannya lalu menuju ke bawah, melihat gelombang-gelombang air laut yang menghantam batu besar di bawah tempat mereka duduk.
“Semua orang punya proses pendewasaannya, Sheva. Mungkin hari ini bukan esensi sebenarnya dari kehidupan kita. Tapi… yah, anggap aja ini kayak mimpi indah. Terasa indah untuk sesaat, tapi habis itu kita bangun dan melanjutkan hidup lagi.” Nimo tersenyum lebar.
Sheva terkejut mendengarnya, sungguh tidak ia duga. Sheva hanya termangu keheranan menatap Nimo dengan setengah tidak percaya. Bagaimana bisa Nimo menebak pikirannya.
“Ni-nimo.. kenapa kamu.. k-kok… b-bisa..”
“Mulut kamu diam, tapi pikiran sama mata kamu bicara. Dan aku bisa denger semua itu di sini” Nimo meletakkan telapak tangannya di dada. Sorot matanya sungguh lembut menatap Sheva saat itu, seakan menenangkan sekaligus memberikan kekuatan baginya.
Sheva tersenyum getir, ia memalingkan wajahnya dari wajah Nimo sambil menghembuskan napas berat. Air matanya mulai menggenang. Dia tak sanggup berkata-kata lagi untuk saat ini.
“Aku bisa rasain itu, va. Apalagi kita duduk sebelahaan kayak gini. Rasanya kita jadi transparan untuk menerawang satu sama lain yah” Sheva bisa mendengar suara Nimo yang juga memberat. Suasana menjadi kelabu dan terdiam untuk sesaat. Hanya terdengar jelas suara ombak yang berkejaran di tengah laut.
Namun, bukan Nimo namanya kalau tidak pintar mengubah suasana. Tiba-tiba ia mencolek pundak Sheva, wajahnya langsung berubah ceria.
“Oh iya Sheva, kamu kenapa sih kepikiran buat bikin alis kaya gitu? Itu pake cat minyak apa gimana sih? Kamu jadi kelihatan lebih judes tahu, hehehehe”
Serasa mood-nya diangkat kembali, Sheva kembali tersenyum dan tertawa sedikit geli. “Diandra Geronimoo, ini namanya tato aliis yaaah… masa gak tahu, gak gaul sih kamu”
Nimo menatap dengan ekspresi mengejek, “oh tahu aku mah… yang pake spidol permanen itu kan?” ia terbahak dengan gurauannya sendiri.
Suasana segera mencair kembali, semudah itu. Sheva memang tidak pernah tidak terkesan terhadap Nimo. Sifat periang dan selera humor tinggi itu mengingatkan dirinya mengapa dia pernah jatuh cinta dengan pemuda berambut keriting ini. Waktu memang berlalu terlalu cepat.
“Tiga puluh tiga tahun, Sheva… sudah kepala tiga kita. Nggak kerasa ya?”
“Iya. Kita sudah nggak terlalu muda lagi, Mo. Banyak yang berubah, apalagi timbunan strech-mark di perutku setelah melahirkan”
“Buatku kamu tetap selalu cantik, tenang aja. Dan ada beberapa hal yang nggak berubah kok.. semuanya dijawab di hari ini. Kamu tahu itu.”
Benar juga, ada beberapa hal yang tidak akan lekang termakan waktu. Salah satunya adalah ikatan batin ini. Entah mengapa, perpisahan selama lebih dari tiga tahun lalu itu tidak berhasil juga benar-benar memisahkan ikatan ini.
***
Nimo memang selalu bisa mencerahkan hari-hari Sheva, begitupun sebaliknya. Sayangnya, keharmonisan mereka berdua ternyata belum cukup untuk mengesankan hati orangtua Sheva. Tuntutan dari orangtua Sheva untuk segera menikah juga tidak sanggup untuk Nimo penuhi ketika itu. Alasannya klasik, Nimo hanya merasa kurang mapan secara finansial. Nimo juga merasa masih terlalu cepat mereka untuk memutuskan untuk menikah. Saat itu usia mereka sama-sama masih 24 tahun.
Akhirnya, ada masanya di mana cinta mereka bukanlah menjadi hal yang potensial lagi untuk diteruskan. Terutama bagi Sheva, cintanya kepada Nimo tidak dapat digunakan lagi sebagai perisai untuk selalu menahan tekanan dari kedua orangtuanya. Nimo pun menjadi terkesan semakin lemah di mata kedua orangtua Sheva. Ketika restu sudah tidak mungkin lagi didapat, hubungan mereka yang terjalin selama lebih dari empat tahun akhirnya kandas begitu saja.
Beberapa bulan setelah itu, Sheva mengenal Dirgo. Dirgo adalah seorang pengusaha muda yang meneruskan pabrik konveksi milik ayahnya. Sosok yang dewasa, bersahaja, potensial dan mapan. Tidak heran, sosok Dirgolah yang akhirnya mendapatkan restu dari kedua orangtua Sheva. Saat ini kehidupannya bisa dibilang telah memenuhi kriteria orangtuanya yang selama ini dimaksud, memiliki sepasang anak kembar, asuransi terjamin dan tinggal di lingkungan real-estate.
Bagaimana dengan Nimo? Setelah benar-benar pulih dari depresi dan mengabiskan puluhan sesi konserling, akhirnya dia bertemu dengan Fara.
Fara adalah salah seorang rekan kerjanya di kantor. Kehadirannya dapat mengisi kehidupannya kembali yang sempat hampa. Sebagai seorang sahabat, Fara sungguh memahami posisi dirinya yang berada di dalam posisi sulit. Saat itu Nimo sangat merasa beruntung karena Fara dapat membantunya untuk bertahan dan bangkit dari keterpurukannya. Sekitar dua tahun lalu mereka akhirnya menikah dan saat ini Nimo memiliki seorang anak lucu yang masih balita.
***
Garis cakrawala membentang lurus di sepanjang lautan. Dari permukaan laut, tampak jelas pendaran bayangan matahari yang seolah-oleh tenggelam di dalam laut. Langit yang semula biru cerah perlahan berubah menjadi semakin berwarna jingga.
Awan tampak lebih berjauhan, menyisakan celah lebar sebagai lintasan bagi burung-burung camar yang ingin pulang. Udara yang semula membelai hangat kini berubah menjadi berhembus lebih dingin. Sheva memperhatikan suasana sekeliling sesaat. Ia ingin merekam dengan jelas dan mengingat segala detil yang berada di tempat ini, tepatnya di hari ini. Seolah-olah dia tidak rela kehilangan sedikitpun kenangan manis ini.
“Aku harus pulang, Nimo.. sudah mulai sore juga di sini”. Sheva tahu Nimo menunggunya untuk mengatakan perpisahan ini duluan.
Nimo tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Wajahnya terlihat begitu damai. Sheva merasa bersyukur melihat banyak perubahan positif pada diri Nimo. Saat itu juga Sheva ingin sekali berterima kasih kepada Fara karena dapat mendampinginya di masa-masa sulit. Tanpa adanya Fara, mungkin Nimo juga tidak akan menjadi sebijak ini.
Sheva membalas senyuman Nimo. Lalu ia menuruni batu besar tempat mereka duduk, meninggalkan Nimo yang sedang berdiri di ujungnya. Mereka tahu, saat ini tidak diperlukan lagi kata-kata hanya untuk menunjukkan perasaan tertentu.
Ini bukanlah suatu perpisahan karena mereka sudah pernah mengalami perpisahan sebelumnya. Berbeda dengan dulu, saat ini mereka juga harus memberikan batasan untuk perasaan emosional satu sama lain. Kenyataannya, senyum simpul saja sudah cukup untuk mewakili kata “terima kasih untuk semua di hari ini” bagi mereka.
Sheva tiba-tiba terkejut mendengar suara lantang Nimo dari belakang.
“Kamu harus tahu Sheva! Fara nggak akan pernah gantiin kamu. Dirgo juga nggak akan pernah gantiin aku. Ini adalah takdir, jalan hidup yang harus kita lalui. Jalan terus Sheva, jangan pernah sekalipun kamu nengok ke belakang. Kita punya happy ending di kehidupan masing-masing. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk kamu. Selamat jalan, Shevaa!”
Sheva terhenyak mendengarnya. Suatu pandangan yang sangat bijak dari Diandra Geronimo yang dulu merupakan cinta matinya. Air matanya langsung menghambur keluar dari matanya. Air mata bahagia yang keluar deras, namun tanpa isak yang menyakitkan. Saat itu Sheva memutuskan untuk menjadi setegar Nimo, dia tetap berjalan meninggalkan Nimo.
Melihat Sheva yang pergi, Nimo hanya pasrah melihatnya. Ia terduduk lemas di atas lututnya dan membalikkan badannya ke arah lautan dengan gontai. Mereka saling membelakangi, memfasilitasi jarak dan waktu untuk menguatkan diri mereka satu sama lain. Kemudian mereka terpisah jauh, semakin jauh dari kekangan emosional di masa lalu dan melepaskan segala kepahitan yang sempat membelenggu jiwa mereka.
Read more

CERITA DIBAWAH HUJAN



Hujan kembali mengguyur kota Jakarta. Membuat genangan-genangan air yang tak beraturan. Seorang gadis SMA terus menghentakkan kakinya kesal. Meruntuki hujan yang tak kunjung reda. Bajunya sudah basah akibat angin yang menerpa tubuhnya membawa bulir air hujan. Sambil menggosok-gosokan tangan ke tubuhnya menahan rasa dingin yang menyerangnya itu.
Jam pulang anak sekolah sudah dari 2 jam yang lalu. Entah sampai kapan ia harus terus menunggu hujan reda di halte tempat ia berpijak.
“Sial! Gara-gara Oik jadi kejebak hujan gini kan!” gerutunya kesal.
Ah iya. Dia terlambat pulang akibat ulah Oik. Karena di jam pelajaran sejarah tadi, Oik ketinggalan mencatat, jadilah dia menunggui Oik mencatat. Pasalnya, Oik itu adalah sahabatnya. Makanya dia rela nungguin Oik, supaya bisa pulang bareng juga. Namun apa daya, tiba-tiba Oik dijemput oleh kekasihnya. Dan akhirnya ia harus pulang sendiri seperti saat ini.
“Oik nyebelin! Hujan nyebelin! Semuanya nyebelin!” teriak gadis itu tak jelas. Ia tak peduli orang akan menganggapnya gila. Persetan orang gila.
“Berisik!” ujar seseorang tiba-tiba.
Ia pun kaget, dengan cepat ia menoleh kesumber suara. Dan, GOSH! Dia tampan sekali! Di sebelahnya ada seorang pemuda yang mencibirnya tadi. Pemuda berwajah seperti orang Korea, dengan mata hazel yang mampu menghipnotis kaum hawa, beperawakan tinggi atletis, dan berkulit putih. Ah sempurna. Tapi tunggu pemuda itu sama dengannya, masih mengenakan seragam sekolah.
“Kamu siapa?” tanya si gadis dengan wajah takut. Ya meskipun dia tampan -menurutnya- tapi siapa tahu dia berniat berbuat jahat. Eh tapi mana mungkin, pemuda itu kan pelajar, sama seperti dirinya.
“Gak usah takut. Aku gak gigit orang kok,” bukannya menjawab, pemuda itu malah menggodanya.
“Ish! Siapa yang takut sama kamu?”
“Kamulah, siapa lagi yang ada di sini selain aku sama kamu? Hahahaha,” ledek si pemuda.
“Mmm, hujannya udah sedikit reda nih, aku anter pulang yuk!”
Oh My Allah, mimpi apa aku semalem. Dianterin pulang cowok ganteng gini pula! Wah, Wah, Wah, Dewa Fortuna lagi berpihak di gue nih. Hahaha,” batin gadis itu bahagia. Dengan semangat, ia menganggukkan kepala.
“Sip, bentar ya!”
Pemuda itu berlari menyebrang jalan. Ia meminta kardus ke penjual pinggir jalan raya itu. Kemudian ia kembali ke halte tadi. “Ayo! Keburu deres lagi entar!” kata si pemuda.
Gadis itu mendekat ke arahnya. Mereka berjalan berdua dengan berlindung di bawah kardus tadi. Keheningan sama sekali tak terjadi di antara mereka. Mereka justru saling bertanya satu sama lain mengenai diri masing-masing.
“Ng, Rumahmu di mana?” tanya si gadis.
“Samping rumahmu,”
“What?! Apa maksudnya? Ah sebentar. Di samping rumahku memang ada penghuni baru -kata mama- tapi gue sama sekali gak nyangka, bahwa dia adalah si penghuni itu?” Bathin si gadis terkejut.
“Jadi, kamu penghuni rumah sampingku itu?” dengan wajah shock pastinya.
“Bingo! Makanya jangan di dalam rumah terus, jadi gak tahu kan punya tetangga tampan kaya aku.”
“Ng, hehehe,” gadis itu menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Ah, Dia salting.
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di rumah si gadis itu.
“Makasih Ng-” gadis itu bingung melanjutkan ucapannya, lantaran ia tidak tahu nama pemuda di hadapannya.
Melihat gadis itu kebingungan, pemuda itu dengan gesit memberi tahu namanya, “Cakka, aku Cakka.” katanya disertai senyuman mautnya.
Ah, ini seperti mimpi. Pertemuan di bawah naungan hujan itu membuatku berdebar tak karuan. Well, aku tak lagi membenci hujan. Karena sekarang, aku sangat mencintai hujan. Terima kasih, hujan.
The End
Read more

Sunday, February 1, 2015

Indahnya Kata-Kata Cinta Pandangan Pertama


Cinta pada pandangan pertama
memang sangat indah yang bahkan keindahan manapun tak ada yang menyamai indahnya
perasaan cinta. Dunia terasa begitu indah bak berada di taman surga. Hari-hari
dipenuhi akan kebahagiaan, membuat bibir kerapkali tersenyum sendiri mengingat
semua yang berkaitan dengannya.



Cinta pada pandangan pertama pun
seringkali membuat anda yang mengalami jatuh hati tersebut
Read more

Saturday, January 31, 2015

Ungkapan kata Maaf Paling Romantis dan Menyentuh untuk kekasih


Tak ada manusia yang sempurna, begitu pula dengan diriku yang tak luput dari salah, bersediakah kau memaafkanku kasih ? Aku berjanji akan berusaha tidak mengulangnya lagi.

Kata-kata Maaf ini sudah biasa kita dengar bukan ? Bagaimana dengan ini ?

Kasih. . .

Aku mungkin tidaklah sempurna, tapi kau sudah cukup sempurna untukku

Aku mungkin sering membuatmu kesal, tapi percayalah aku tak akan
Read more

Kata Mutiara Islam Tentang Kesabaran, Jodoh dan Motivasi


Kata mutiara Islam tentang kesabaran, Adakah di antara sahabat para
pembaca sekalian yang tak pernah mengalami suatu masalah, suatu kesulitan,
kesusahan dalam hidup ini ? Adakah diantara temen-temen yang hidupnya  selalu mulus tanpa adanya suatu rintangan
yang bahkan seperti tiada henti kerikil-kerikil kehidupan menghalangi perjalanan
hidup ?



Setiap dari kita pastilah
pernah mengalami
Read more

Tuesday, January 27, 2015

Kumpulan Kata-Kata Mutiara Hikmah Agama Islam


Kata-kata mutiara hikmah agama Islam merupakan kata-kata bijak
yang bermakna akan nasihat-nasihat yang bersumber dari ajaran agama Islam.

Seperti
kita ketahui, selama ini sudah banyak kata-kata bijak yang tertera di sebuah
spanduk, stiker, logo dan pula sudah banyak buku-buku yang bersumber dari ilmu pengetahuan
yang mengupas kata bijak, namun berasal dari berbagai macam sumber, seperti
Read more

Kata-Kata Mutiara Islami Bergambar


Kata-kata mutiara Islam bergambar- merupakan kata-kata bijak Islami yang dituangkan ke dalam bentuk gambar. Kalimat
bijak sendiri sering kali ditampilkan dalam berbagai macam seperti stiker, logo
dll yang dijadikan sebagai moto, kata mutiara, baik untuk individu ataupun
banyak orang.



Kata-kata mutiara pada dasarnya adalah sebuah nasihat yang mengacu kepada motvasi untuk
melakukan semua
Read more

Monday, January 12, 2015

Kata-Kata Penantian Cinta Paling Menyentuh Terbaru 2015


Penantian cinta adalah sebuah
kata yang tak pernah terlepas dari kesendirian. Kesendirian karna menjalani
hubungan jarak jauh ataupun karna memang belum menemukan cintanya.



Menanti adalah pekerjaan
paling membosankan bagi sebagian orang, tapi tidak begitu dalam kisah cinta.
Selalu ada harapan dibalik setiap rasa gundah dan gelisah dalam hati. Selalu
ada do’a yang senantiasa dipanjatkan
Read more

Friday, January 9, 2015

Kumpulan Kata-Kata Cinta Galau karena Kangen Terbaru 2015


Kumpulan Kata-Kata Cinta Galau karena Kangen - Kangen atau rindu merupakan satu kesatuan di mana
perjumpaan begitu didamba oleh seseorang yang menahan gejolak rasa ingin segera
bertemu. Terlebih bagi mereka yang sudah terbakar api asmara. Satu hari saja
tak bertemu atau sekedar mendengar kabarnya akan terasa begitu lama waktu yang
terlewati dengan sebuah rasa rindu di dada.



Berbagai pikiran
Read more